Penulis: Hasuna Daylailatu
Bisa jadi, sebagian besar barang yang ada di rumah kita pernah dimuat ke dalam kontainer dan dikapalkan sejauh ribuan kilometer dari negara asalnya. Ponsel, mainan, baju, bahkan buah.
Saat ini, diperkirakan 90 persen barang di dunia diangkut via laut, dan 60 persen di antaranya, termasuk yang disebut sebelumnya, dikemas dalam boks baja bernama kontainer. Sisanya, mayoritas berupa minyak dan biji-bijian. Secara keseluruhan, diperkirakan sekitar US$ 14 triliun nilai barang yang dikirim dengan kontainer.
Tanpa kontainer, pasokan barang ke seluruh dunia sulit terjadi. Kekurangan kontainer yang terjadi sejak awal pandemi membuat biaya pengiriman meningkat dan mengganggu rantai pasokan ribuan produk ke seluruh dunia. Maka, peran kontainer dengan ukurannya yang standar, tak bisa disepelekan.
Sejak awal perdagangan dunia, orang telah menggunakan kotak, karung, tong, dan wadah lain untuk mengangkut barang jarak jauh. Pada 1600 sebelum Masehi, Mesir sudah mengapalkan kaca, kain, dan kayu ke Arab dalam karung, dengan karavan unta.
Ratusan tahun kemudian, orang Yunani menggunakan amphorae, wadah penyimpanan kuno, untuk mengangkut minyak zaitun, anggur, dan biji-bijian di atas triremes, mengarungi Laut Mediterania.
Ketika perdagangan menjadi lebih maju, proses bongkar muat barang tetap saja membutuhkan waktu lama, banyak tenaga kerja, dan mahal. Umumnya, hal ini disebabkan karena kontainer datang dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Kontainer dari kapal yang dipindah ke gerbong kereta, misalnya, sering kali harus dibongkar dan dikemas lagi ke dalam gerbong.
Dengan ukuran kontainer yang berbeda-beda, ruangan di kapal tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu, membuat beban kapal menjadi tak seimbang. Barang juga menjadi lebih rentan rusak atau hilang dicuri karena terlihat.
Sumber: maritime-executive.com
Sumber Berita: https://www.maritime-executive.com/editorials/a-brief-history-of-the-shipping-containe
|